Seri nomor model di bodi kamera biasanya menunjukkan tingkatan fitur yang dimilikinya. Namun anggapan tersebut salah jika Anda melihat seri kamera DSLR terbaru Rebel XSi, buatan Canon ini.
Kamera ini merupakan kelanjutan dari seri Digital Rebel XT dan XTi yang sukses di pasaran. Anehnya, nomor model malah diturunkan dari XTi menjadi XSi. DSLR anyar ini memiliki resolusi 12,2 megapixel dan merupakan kamera penggabungan dari model EOS dan PowerShot. Yup, benarkah?
Sisi belakang terdapat Live View LCD berukuran 3 inci. Jeroannya terpasang prosesor Digic III yang menghasilkan jepretan foto berkualitas. Dukungan ISo hingga 1600, 9 titik autofocus, dan 3,5 fps mode rapid fire merupakan fitur-fitur yang dimilikinya.
Rebel XSi akan dipasarkan seharga US$ 800 (sekitar Rp 7,7 juta) termasuk lensa 18-55mm
source : http://insideit.wordpress.com
5/30/2008
Rebel XSi, Seri Kamera DSLR Terbaru Canon
Mengenal fitur live-view pada kamera DSLR
Salah satu fitur baru pada kamera DSLR yang paling banyak menarik minat konsumen masa kini adalah fitur live-view. Bagi yang terbiasa memotret memakai kamera digital (termasuk kamera pada ponsel) tentu sudah terbiasa mengambil gambar mengandalkan preview pada layar LCD, sementara memotret memakai SLR sudah identik dengan mengintip jendela bidik (viewfinder), bukannya melihat melalui layar LCD. Dengan semakin murahnya harga kamera DSLR, semakin banyak pula pemakai kamera digital saku yang beralih ke DSLR, dan menemui kesulitan saat harus memotret tanpa bantuan layar LCD layaknya kamera saku. Banyak juga yang tidak habis pikir bagaimana mungkin kamera digital SLR yang nota-bene punya layar LCD kok layarnya tidak bisa dipakai untuk melihat preview foto yang akan diambil.
Seakan tak ingin mengecewakan mereka, kini produsen kamera DSLR mulai menjawab keluhan ini dengan mengimplementasikan fitur live-view yang menjadikan kamera DSLR dapat menampilkan preview gambar yang tertangkap lensa pada layar LCD. Keuntungannya, sang pemotret dapat mengevaluasi gambar yang akan diambil, termasuk warna, ketajaman, fokus dan eksposure. Selain untuk keperluan tersebut, live-view juga dipakai untuk memotret pada sudut yang sulit seperti memotret bunga sambil jongkok atau memotret overhead (posisi kamera diangkat diatas kepala-seperti pada saat konser musik). Meski demikian ada juga efek negatif dari pemakaian fitur ini, yaitu akan menguras daya baterai karena LCD yang terus menyala.
Fitur yang tergolong baru ini sebenarnya sudah diperkenalkan jauh sebelumnya oleh Olympus, sekaligus menjadi pionir dalam urusan live-view. Prinsipnya adalah bagaimana membuat gambar yang tertangkap lensa dapat ditampilkan di layar LCD sebelum shutter ditekan. Untuk itu, komponen sensor menjadi mutlak perlu dalam prinsip live-wiew. Masalahnya, terdapat perbedaan konsep dalam mendesain sensor untuk live-view ini, dimana ada yang memanfaatkan sensor kamera (baik CCD atau CMOS) untuk proses live-view (untuk efisiensi dan menekan biaya produksi), ada juga yang menyediakan sensor terpisah sehingga sensor utama hanya dipakai saat shutter ditekan saja. Apalagi ada anggapan bahwa saat kamera mengaktifkan fitur live-view akan membuat sensor terus-menerus terpapar oleh cahaya yang berpotensi membuat usia sensor berkurang.
Olympus merancang sistem ini pertama kali pada DSLR E-330 dengan memakai dua sensor yaitu sensor utama dan sensor khusus live-view, yang pada saat itu membuat sistem begini menjadi mahal dan rumit. Dengan mengevaluasi untung rugi dari konsep pertamanya, akhirnya Olympus menyederhanakan sistem live-view berikutnya menjadi hanya satu sensor. Tak lama berselang sistem live-view ini diadopsi dan disempurnakan oleh Panasonic (Lumix LC-10), Nikon (D-300) dan Canon (EOS 40D, EOS 450D) meski dengan beberapa perbedaan minor. Berita cukup menarik muncul saat Sony mengumumkan metode live-viewnya yang justru memakai dua sensor seperti Olympus generasi pertama, namun dengan klaim menjadi sistem live-view tercepat saat ini.
Kaitan antara live view dan auto fokus pada DSLR
Auto fokus pada kamera DSLR memiliki keunggulan dibanding kamera saku karena dilakukan memakai proses phase detect dibanding kamera saku yang memakai contrast-detect. Keunggulan utamanya adalah dalam hal kecepatan dan ketepatan mencari fokus. Dengan mengimplementasikan sistem live-view pada kamera DSLR, konsekuensi utamanya adalah proses auto fokus akan menjadi lebih rumit, yang berdampak pada penurunan kecepatan auto fokus itu sendiri, terutama pada sistem live-view dengan sensor tunggal. Ceritanya begini, karena sensor tunggal pada DSLR yang memakai mode live-view harus terus menerima cahaya dari lensa, maka cermin yang berada di depan sensor harus diturunkan (mirror-down). Efek turunnya cermin ini adalah sistem auto fokus kamera menjadi tidak berfungsi. Untuk itu, saat kamera harus mencari fokus (saat tombol shutter ditekan dan ditahan) maka cermin terpaksa harus kembali diangkat (mirror-up) dan otomatis menutupi sensor sehingga proses live-view akan terputus sesaat. Naik turunnya cermin setiap mencari fokus inilah yang membuat rumit dan menyita waktu saat memotret dengan memakai fitur live-view.
Sebagai gambaran bolehlah saya ambil contoh kamera DSLR terbaru yang telah memiliki fitur live-view yaitu Canon EOS-450D yang berbasis sensor tunggal. Kamera ini memiliki keunggulan dalam keleluasaan pilihan mode auto fokus saat sedang memakai fitur live-view. Pilihan pertama adalah sistem auto fokus standar yang disebut Quick mode yaitu phase-detect, sementara pilihan kedua adalah Live mode yang memakai sistem auto fokus contrast-detect (lihat gambar disamping). Untuk memahami perbedaan fungsi dari kedua metoda auto fokus tadi, beginilah gambaran singkatnya :
Sistem Quick mode mengharuskan cermin diangkat selama kamera mencari fokus > proses live view akan terhenti sejenak (LCD blank) > terdengar bunyi cermin naik turun > prosesnya memang cepat (sekitar satu detik) namun masih relatif lambat dibanding auto fokus tanpa live-view
Sistem Live mode tidak memerlukan cermin diangkat selama kamera mencari fokus > proses live view tidak terganggu karena sensor tidak terhalang cermin > tidak ada suara cermin naik turun > namun sistem yang berbasis contrast-detect ini prosesnya lebih lambat (sekitar 3 detik) dibanding sistem phase-detect.
Terlepas dari untung rugi kedua sistem dari EOD 450D diatas, fitur live-view dengan memakai sensor utama untuk live-view memiliki kelebihan yaitu tampilan di layar benar-benar menampilkan 100% coverage, kemampuan asistensi gambar yang diperbesar untuk manual fokus, kemampuan depth of field preview, dan kepastian bahwa apa yang terlihat di layar adalah apa yang akan tersimpan di memori nantinya (what you see is what you get).
Bagaimana dengan sistem dual sensor?
Karena tidak ada standar pasti untuk desain fitur live-view ini, tidak ada yang salah apabila Sony mendesain kamera seri Alpha A350 (dan A300) terbaru dengan sensor terpisah. Artinya disamping memiliki sensor CCD sebagai sensor utamanya, Sony mengalokasikan sensor khusus untuk live-view sehingga total terdapat dua buah sensor pada kameranya yang memiliki fungsi berbeda. Inilah fakta, keuntungan dan kekurangan dari rancangan Sony :
Untuk mengaktifkan mode live-view cukup dilakukan dengan cara menggeser switch mekanik > cermin akan bergeser sedikit (tilt) sehingga bayangan dari lensa akan jatuh di sensor kedua > viewfinder akan tertutup untuk mencegah cahaya mengganggu sensor.
Pemakai dapat beralih dari mode live-view ke mode biasa (memotret melalui viewfinder) dan sebaliknya dengan mudah, cukup menggeser switch tadi.
Tanpa harus menaik-turunkan cermin, auto fokus tetap dapat dilakukan pada saat mode live-view sedang aktif. Sistem seperti ini meniadakan blank sesaat pada layar LCD, sehingga kecepatan auto fokus saat live-view pada A300/A350 bisa menjadi yang tercepat hingga saat ini.
Sensor live-view sebagai sensor tambahan hanya menampilkan sekitar 90 % coverage, memang amat kurang bahkan masih kurang dari coverage viewfinder optiknya.
Karena ukuran dan kualitas sensor tambahan ini tidak sebaik sensor utamanya, maka beberapa hal penting tidak dapat dilakukan saat live-view, seperti asistensi gambar yang diperbesar untuk manual fokus, tanpa overlay grafik (histogram atau grid), dan bahkan tidak dapat melakukan preview kerja stabilizernya yang terpasang di sensor utama.
Oleh karena itu sistem dual sensor dari Sony ini lebih cocok dipakai bila kita menginginkan mode live-view yang tidak repot, auto fokus yang cepat dan hampir serasa memakai kamera saku biasa. Sedangkan sistem sensor tunggal lebih bermanfaat bila live-viewnya dipakai untuk memotret pekerjaan yang presisi seperti foto makro atau arsitektur.
Tentu saja fitur baru ini membawa pengalaman tersendiri bagi pemakai kamera DSLR modern. Beberapa manfaat yang didapat dengan fitur ini semestinya dapat menambah kreativitas dalam memotret bahkan memberi keleluasaan memotret dari sudut-sudut ekstrim. Namun perlu dicatat bahwa fitur ini tidak ada kaitannya dengan kualitas gambar yang dibuat oleh kamera DSLR, melainkan hanya sebagai fitur pelengkap yang akan menjadi tren. Banyak kamera DSLR yang tidak dilengkapi fitur ini dan para pemakainya pun tidak pernah mempermasalahkannya, namun bila memang kamera DSLR yang kita miliki telah dilengkapi fitur live-view tentu akan menjadi suatu nilai tambah tersendiri. Sayangnya, meski secara teknis sangat memungkinkan, hingga saat ini belum ada satu kamera DSLR pun yang mengoptimalkan fitur live-view ini menjadi fitur movie.
5/14/2008
How Do I Take Band Promotional Photos?
It has been a while since we had a DPS community workshop - so today when I got the following question via email from Brett (a reader of DPS) I thought I’d post it here as a question for everyone to answer. If you have any tips for Band Promotion Photos leave your comments below. Here’s Brett’s question:
“My brother is in a band who are starting to get a little media attention and they are constantly being asked for photos by smaller music magazines and newspapers. As I’m the only guy with a DSLR that my brother knows (combined with the fact that they have no money to hire anyone) they want me to take some promotional shots for them.
I was wondering if you or your readers might have any suggestions on how to go about getting some good band promo shots? Any tips on types of locations, posing etc would be greatly appreciated.”
source : http://digital-photography-school.com/blog/
5/13/2008
Mengambil Gambar dengan Cepat Berteknologi Maju
KAMERA digital yang tersedia di pasaran sekarang ini sudah beragam dan memiliki keunggulan dari berbagai sisi, mulai dari teknologi sampai rancangannya yang dibuat guna menarik para pembeli untuk memilikinya. Sebenarnya, memang menjadi membingungkan kalau kita melihat etalase toko peralatan kamera digital sekarang ini yang memiliki begitu banyak ragam pilihan yang tersedia, dari mulai merek yang terkenal sampai yang tidak terkenal sama sekali.
KEHADIRAN kamera-kamera digital sekarang ini memang memberikan sebuah pertanyaan, apakah era penggunaan digitalisasi dewasa ini memang sudah mencapai sebuah titik, di mana penggunaan kamera tradisional menggunakan film-film seluloid sudah akan berakhir tergantikan oleh rangkaian-rangakain papan kecil CCD (charge coupled device) yang melekat di berbagai kamera digital? Para konsumen yang menggemari berbagai gadget berteknologi mutakhir pun sebenarnya tidak terlalu memusingkan persoalan ini.
Belum lama ini Kompas mencoba sebuah kamera baru buatan Canon, yang memang dikenal memiliki keunggulan tersendiri dalam menghasilkan beberapa kamera digital piawai. Sebagai sebuah kamera saku, Canon Ixus V3 ini memang sangat ringan dengan berat sekitar 250 gram dan memiliki dimensi yang memang cocok untuk diletakkan di dalam saku celana, dengan ukuran 87x 57x27 mm.
Canon selalu mampu untuk menghasilkan kamera-kamera digital yang mudah digunakan, seperti pada kamera Ixus V3. Selain sangat sederhana penggunaannya pada posisi otomatis, pada penggunaan manual pun tidak serumit kamera profesional konvensional. Keuntungan dari adanya pengoperasian kamera Ixus V3 secara manual ini adalah memungkinkan bagi para pemula untuk bisa memahami seluk-beluk sebuah kamera pada umumnya.
Artinya, mereka yang ingin mengetahui bagaimana perbedaan penggunaan aperture (bukaan) dan kecepatan shutter speed, bisa segera melihat hasil-hasil foto jepretannya secara instan yang muncul pada layar LCD yang terletak di belakang, berukuran 1,5 inci (sekitar 3,8 sentimeter).
Memang, dan ini terjadi pada umumnya kamera digital, tampilan LCD ini kadang menjadi tidak jelas sehingga sulit untuk melihat dan memastikan apakah gambar yang diambil sudah memiliki ketajaman seperti yang diharapkan oleh pemotretnya. Karena, tampilan LCD ini memang dimaksudkan guna memudahkan penggunanya untuk melihat apakah gambar-gambar yang diambil ini sudah sesuai dengan keinginannya.
Nikon D70
NIKON® ANNOUNCES DEVELOPMENT OF D70™ DIGITAL SLR CAMERA
New Nikon D70 Poised to Expand Digital SLR Camera Market by Delivering Excellent Performance and Superb Image Quality at an Attractive Price
MELVILLE, NY, DECEMBER 03, 2003 - Nikon (www.nikonusa.com), the world leader in photography, today announced development of the D70, a new interchangeable-lens digital SLR camera designed to deliver superb image quality and hallmark Nikon SLR performance at an attractive price that a broad range of consumers will find within reach. A new DX Zoom-Nikkor lens is being developed concurrently to match the D70, and both products are scheduled to go on sale in the spring of 2004.
Designed for a wide range of customers, from novices to serious and experienced photo enthusiasts, the D70 will enable photographers to easily adopt digital technology into their existing camera system. The new model will offer an exclusive selection of new features and exciting Nikon SLR technology that will surpass products within the evolving digital SLR market, and provide exceptional value at an estimated retail price of $999.00 for the camera body.
"The D70 represents Nikon's next step in expanding the digital SLR camera market. Ever since the introduction of the revolutionary D1 in 1999, Nikon has been in constant pursuit of the highest image quality and performance in digital SLRs.
This has led to the introduction of the D1X, the D1H, and most recently the groundbreaking D2H. The D100, introduced in June 2002, marked Nikon's efforts in bringing digital SLR technology into the hands of enthusiast photographers, and has since become a flagship camera for this audience," said Richard LoPinto, vice president for SLR camera systems, Nikon Inc. "With the development of the D70, Nikon is responding to a growing interest among a broad range of photo enthusiasts who are looking for a full featured digital SLR camera that fits within their personal budgets, and also the expanding interest among amateurs who enjoy great pictures and want the high level of performance that a Nikon digital SLR can provide."
The D70 joins Nikon's current selection of digital SLR models and employs the popular Nikon DX format sensor and Nikon F lens mount. This design will allow photographers to use high quality DX Nikkor lenses, and also maintain seamless compatibility with all AF Nikkor lenses and the D70. Designed exclusively for Nikon's D-series digital SLR cameras, DX Nikkor lenses are optimized to achieve outstanding center-to-edge-to-corner image quality, when used with any of Nikon's digital SLR cameras including the D1, D1X, D1H, D100, the new high-speed D2H, and the forthcoming D70.
Nikon currently has three DX Nikkor lenses that offer exceptional wide-angle coverage:
AF DX Fisheye-Nikkor 10.5mm f/2.8G ED lens: 180º angle-of-view
AF-S DX Zoom-Nikkor 12-24mm f/4G IF-ED: 99º - 61º angle-of-view
AF-S DX Zoom-Nikkor 17-55mm f/2.8G IF-ED: 79º - 28º50' angle-of-view
More information and detailed specifications about the D70 will become available at a later date. Please log on to www.nikonslr.com for more information about Nikon digital SLR photography and products.
source : http://www.dpreview.com/news/0312/03120301nikond70.asp
Canon EOS 1Ds Mark II Digital SLR
Sixteen point six megapixels of effective resolution is really nice. Of course, the Canon EOS 1Ds Mark II costs about the same per megapixel as the Canon EOS 1D Mark II - 2x as much money.
After spending a sum of money approaching 5 figures and waiting 3 months to get the Canon EOS 1Ds Mark II, I had high expectations. And I am not disappointed. I have found no unexpected surprises - do not expect to find any - and should not find any for what this tool costs.
The Canon EOS 1Ds Mark II's overall design, features (fully loaded including E-TTL II), functions, build quality, image quality (not resolution of course) ... are nearly identical to the Canon EOS 1D Mark II.
And for the most part, this is a good thing. Canon's 1-Series digital bodies are weather-resistant (when paired with a weather-resistant lens) and rugged. They are made to hold up to considerable and demanding use and in bad conditions. Though rugged, they have an attractive, modern design. Although some may disagree, I find the Canon 1-Series body very ergonomical. Although not light, the tactile feel and balance are excellent. The Canon EOS 1Ds Mark II feels great in my hand. I find that some setting changes are not as intuitive and logical as I would prefer, but I have definitely acclimated to the functionality.
Of high importance to most of us - the Canon EOS 1Ds Mark II focuses very fast and accurately (at least when I do my part correctly) using a 45-point autofocus system including 7 cross-type sensors. According to Canon, the 1Ds II focuses faster than its predecessor, the 1Ds, faster than the 1D and identical in speed to the 1D Mark II ... "Same One-Shot AF speed and AI SERVO AF subject tracking performance as the EOS-1D Mark II." (Canon) I personally have noticed no focus speed difference between the two mark II bodies. Canon also notes that "Because the AF unit is capable of operating at 8.5 frames-per-second and the Canon EOS 1Ds Mark II has a maximum speed of 4 fps, the AI Servo AF algorithm has been optimized for 4 fps operation."
Of highest importance is image quality - I am also not disappointed in any way in this regard. I didn't find anything sacrificed in image quality to get the large 16.6 megapixel image. The sensor and the related software deliver the excellent image quality I expect from Canon Digital SLRs. Dynamic range is very good (non-officially rated at 9.5 f-stops), colors look natural. Auto white balance is very good (I am using it more often than ever).
Canon EOS 1Ds Mark II sharpness is comparable to the Canon EOS 1D Mark II when the same number of pixels are covering the subject (pixel level sharpness). This is a good thing. Sharpness seems to be turned up slightly by default, but post-processing resulted in similarly sharp images even though the 1Ds II has a higher pixel density on the sensor. There was no question that the Canon EOS 1Ds Mark II delivered far more resolution for a similarly cropped image. And of course, if you reduce the 3:2 aspect ratio 4992x3328 pixel 1Ds II image to a 1D Mark equivalent 3504x2336 pixel image and apply some sharpening, the 1DS II image easily wins.
What can you use 16.6 megapixels of resolution for? Huge prints for one thing. Think Billboards! The Canon EOS 1Ds Mark II's image also has lots of cropping headroom. Even after cropping an image significantly, enough resolution can be available for a large print. Or take several crop variations out of a single shot. For those times 16.6 megapixels are not needed, JPEGs can be shot at 8.6, 6.3 and 4.2 megapixels. RAW files can be processed to any desired size when using DPP (Digital Photo Pro).
Although one can never have too much resolution (in my opinion), there are downsides to this - such as the resulting image file size. Canon EOS 1Ds Mark II .CR2 (raw) files average 13-16 MB (and like big, fast memory cards - a 2GB CF card formats to indicate 109 exposures available). High quality .JPG files are generally 5-8 MB, 16-bit .TIF files are 97 MB and 8-bit .TIF files are 48.7 MB. These numbers are about 2x larger than the same files from the Canon EOS 1D Mark II, which has about half as much resolution. Also averaging about 2x that of the 1D Mark II are the 1Ds Mark II's per image download (to PC) times (using a card reader) and the .CR2 processing times. I am not struggling with 16-bit image file load times or processing performance in Adobe Photoshop - I expected much worse.
Of significance is the Canon EOS 1Ds Mark II's 48.7 MB 8-bit .TIF file size. Getty Images and other of the world's premier stock photo agencies require a minimum 8-bit .TIF file size of 48 MB for their submissions. The Canon EOS 1Ds Mark II natively meets this requirement.
The Canon EOS 1Ds Mark II's FPS (frames per second) burst rate is slightly less than half that of the Canon EOS 1D Mark II (4 vs. 8.5). To hear the difference between 4 FPS and 8.5 FPS, select each of the following sound clips.
Canon EOS 1Ds Mark II 4 FPS Burst
Canon EOS 1D Mark II 8.5 FPS Burst
The 8.5 FPS specification of the 1D Mark II will be the deciding factor for many sports and other fast-action photographers. The 1Ds Mark II can shoot a burst of 32 JPEGs or 11 RAW frames before filling the buffer. The single frame shutter/mirror sound of the Canon EOS 1Ds Mark II also differs from the 1D Mark II - It is a bit more drawn-out.
Canon EOS 1Ds Mark II Single Shots
Canon EOS 1D Mark II Single Shots
Both cameras share the same 200,000 activation-rated shutter and the same 87ms viewfinder blackout time.
One of the Canon EOS 1Ds Mark II's most sought after features is the 1.0x full frame 36mm x 24mm sensor. The large viewfinder that comes with it is very nice. Wide angle lenses are very wide and very long lenses are required to fill the frame with small or distant subjects. But, the Canon EOS 1Ds Mark II stretches even the best lenses to their limits. Even some of the best lenses show vignetting and distortion with a wide open aperture at their shortest focal length. And, the shorter DOF (Depth of Field) for similarly-framed subjects (compared to a 1.3x or 1.6x FOVCF camera) can be good or bad. Read the Field of View Crop Factor Explanation for more information on this feature.
The Canon EOS 1Ds Mark II's higher pixel density (than the 1D Mark II) will be welcomed by those who crave more focal length or magnification. Although cropping may be required to get the framing right, more detail can be captured within the same framing and using the same focal length lens as the 1D Mark II. Higher pixel density often means more noise in the image, but the Canon EOS 1Ds Mark II handles this very well in my opinion.
Canon EOS 1D Mark II N Digital SLR
After great debate, I have decided to not write a hands-on Canon EOS 1D Mark II N review. It is just me here and I have to prioritize what I am working on. Apparently some of the other camera review sites have come to the same decision.
There are just not enough enhancements in the Canon EOS 1D Mark II N over the Canon EOS 1D Mark II that I used as my primary body for many months to justify the time and cost to create a hands-on "N" review. I will however give you with my thoughts on this is excellent 1-Series body as it has a strong niche in Canon's DSLR lineup and consequently, this site's Canon Digital SLR guide. What I write is based on experience with the very similar 1D II, using the identical new features on other Canon Digital SLRs, and my at-least-average ability to visualize other simple improvements (such as buffer depth).
Are you photographing sports or other fast-moving action? There is probably no better camera available for this purpose. With an excellent 45-point, high sensitivity autofocus system paired to a rugged, weather-sealed body capable of firing 8.5 very high quality frames per second into a deep buffer, the Canon EOS 1D Mark II N is ideally suited to capture every moment of fast action.
The biggest improvement over the 1D II is, in my opinion, the 2.5" LCD. I have used the same 2.5" LCD on the Canon EOS 5D and now the Canon EOS 30D. And I like it. It is not perfect - I would like to have better visibility in bright daylight without adjusting the brightness (a menu option), but I consider the LCD a nice improvement.
The Canon EOS 1D Mark II N features a new "Magnified View From Any AF Point" option that sounds very useful for checking sharpness. Instead of zooming in (during review) and scrolling to the AF point used, you can now zoom in at the AF point used. Magnified view is now available during quick review as well.
The frame buffer can never be too large. I'll take any improvement offered to me in this area - especially when the frames go by at 8.5 per second. However, going from 20 to 22 frames will probably not make much difference to most photographers.
5/12/2008
History Of Ska
Adalah Perang Dunia II yang mengubah segalanya. Kekuasaan Inggris terhadap negara-negara jajahannya runtuh sebelum masa PD II & terpecah belah pada saat pertengahan masa peperangan. Inggris memeberikan kemerdekaan kepada negara-negara jajahannya setelah mendapat tekanan dari pemerintahan kolonial. Pada tahun 1962 Jamaika membentuk pemerintahan sendiri meskipun masih tetap sebagai negara persemakmuran. Budaya Jamaika & musiknya mulai terefleksi dalam optimisme baru & aspirasi rakyat yang liberal.
Sejak tahun 40'an Jamaika telah mengadopsi & mengadaptasi berbagai bentuk musik dari Amerika. Pada saat PD II berakhir, begitu banyak band-band di Jamaika yang memainkan musik-musik dansa. Grup seperti Eric Dean Orchestra dengan trombonisnya Don Drummond & master gitarisnya Ernest Ranglin terpengaruh oleh musisi-musisi jazz Amerika seperti Count Bassie, Erskine Hawkins, Duke Ellington, Glenn Miller & Woody Herman. Ditahun 50'an ketenaran band-band jazz di Amerika digantikan oleh grup-grup yang kecil & cenderung lebih memainkan irama bop/rhythm & blues sound. Musisi Jamaika yang sering berkunjung ke Amerika terpengaruh & membawa pola permainan musik tersebut ke daerah asalnya. Band-band lokal di Jamaika seperti Count Smith The Blues Blaster, Sir Nick The Champ & Tom The Great Sebastian mulai memainkan gaya baru tersebut. Ditahun 1954, pertunjukan terbesar pertama kali diadakan di kota Kingston tepatnya di Ward Theatre. Band-band tradisional yang memainkan irama mento-folk-calypso ikut ambil bagian & sering sekali band-band tersebut mengisi acara di hotel-hotel yang ada di Jamaika & seputar pulau tersebut. Pada akhir tahun 50'an pengaruh-pengaruh jazz, R&B, & mento (sejenis musik calypso) melebur menjadi satu bentuk baru yang dinamakan 'shuffled'. Irama shuffled memperoleh popularitas berkat kerja keras musisi-musisi seperti Neville Esson, Owen Grey, The Overtakers & The Matador Allstars. Banyak studio & perusahaan rekaman yang mengalami perkembangan & terus berusaha untuk mencari talenta-talenta baru. The Jamaican Broadcasting Corporation pun ikut membangkitkan semangat kepada musisi-musisi muda melalui siaran acara-acara di radio.
Dua orang yang amat berpengaruh dalam perkembangan musik di Jamaika pada tahun 50'an adalah Duke Reid & Clement Seymour Dodd. Bersama istrinya, Duke Reid memiliki toko 'Treasure Island Liquor' yang berlokasi di jalan Bond (Bond street). Soundsystem Reid dikenal dengan nama 'The Trojan', diambil dari tulisan yang tertera pada truknya. Truk yang biasa digunakan sebagai angkutan barang untuk tokonya. Dodd menamakan soundsystem miliknya 'Sir Coxsone Downbeat' yang diambil dari nama pemain kriket asal Yorkshire, Coxsone. Sepanjang akhir dekade, kedua orang tersebut memimpin persaingan dalam bisnis musik. Walaupun Coxsone lebih dekat dengan 'Ghetto'(perkampungan yang didiami kaum atau kelompok tertentu) Adalah Reid yang dianugerahi sebagai 'King of sound & blues' di Success Club (acara penganugerahan) di tahun 1956, 1957, 1958.
Tahun 1962, saat di mana Jamaika sedang gandrung meniru musik-musik Amerika, Cecil Bustamente Campbell yang kemudian dikenal dengan nama 'Prince Buster', tahu bahwa sesuatu yang baru amat dibutuhkan pada saat itu. Ia memiliki seorang gitaris yang bernama Jah Jerry yang kemudian bereksperimen di musik dengan menitikberatkan 'ketukan 'afterbeat' ketimbang 'downbeat'. Hingga pada saat ini ketukan afterbeat menjadi esensi dari singkop (penukaran irama) khas Jamaika. Ska pun lahir. Soundsystem/studio rekaman pun mulai merekam hasi kerja mereka. Dengan tidak memberikan label pada vinyl (piringan hitam) dengan tujuan agar memperolehkeuntungan diantara para pesaingnya. Sehingga yang lain tidak dapat melihat apa yang dimainkan & 'mencuri' untuk sondsystem mereka sendiri.
Perang antar soundsystem pun memuncak hingga pada saat para donatur terancam oleh segerombol orang-orang yang menyebabkan permasalahan. Orang-orang ini dinamakan 'Dance Hall Crashers'. Meskipun fasilitas Mono Recording yang masih primitif, adalah keteguhan hati dari antusiasnya akan musik ska yang memungkinkan untuk menjadi musik komersil dari Jamaika yang pertama kali. Dan kenyataannya ska dikenal sebagai musik dansa rakyat Jamaika.
Sepanjang tahun 60'an wilayah ghetto di Jamaika dipenuhi oleh pemuda-pemuda yang mencari pekerjaan. Pada waktu itu amat susah di dapat. Pada awalnya pemuda-pemuda ini tidak tertarik dengan optimisme musik ska. Pemuda-pemuda tersebut menciptakan identitas kelompok sebagai 'Rude Boy' (sebuah trend dikalangan pemuda yang pernah terjadi pada periode awal tahun 40'an) Menjadi 'Rude' artinya menjadi seseorang dimana masyarakat menganggapnya tidak berguna. Gaya dansa ska para Rude Boy memiliki ciri khas tersendiri, lebih pelan, dengan tingkah seakan-akan meninju seseorang. Rude Boy memiliki koneksitas dengan 'Scofflaws'(orang-orang yang selalu menentang hukum) & dunia kriminal lainnya. Hal ini terefleksikan dalam lirik-lirik lagu ska. (catatan: gaya penampilan berpakaian Rude Boy yaitu dengan celana panjang yang mengatung hanya semata kaki). Musik ska sekali lagi mengalami perubahan untuk merefleksikan 'Mood of the rude' dengan menambahkan tensi pada permainan bass yang disesuaikan dengan gaya sebelumnya yaitu 'free-walking bass style'.
Banyak yang berbondong-bondong mengadu nasib di kota Kingston untuk memperoleh ketenaran dalam industri musik yang kemudian beralih menjadi penjual ganja ketika gagal & modal makin menipis. Banyak pula yang berkecimpung dalam dunia kriminal (tergambar dalam film 'The Harder They Come' yang diperankan oleh Jimmy Cliff ...film ini dipercaya mengisahkan tentang perjalanan hidup Jimmy Cliff)
Dua partai politik yang ada di Jamaika membentuk banser bersenjata. Opini publik pun mengarah pada penentangan terhadap kelompok Rude Boy & penggunaan senjata api. Peraturan pemilikan senjata api pun ditilik kembali setelah melalui periode dimana kepemilikan senjata diperbolehkan asal tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Siapa pun yang memiliki senjata api yang ilegal, diancam hukuman penjara seumur hidup
Artis & produser mendukung bahkan 'memaafkan' atas prilaku kelompok Rude Boy melalui musik ska. Dukungan untuk tidak menggunakan senjata api terefleksi dalam lagu-lagu seperti "Lawless street" dari kelompok Soul Brothers, "Gunmen coming to town" The Heptones. Duke Reid memproduseri salah satu grup ska The Rude Boy (shuffling down Bond street) C.S. Dodd pun ikut memproduseri grup muda yang memiliki visi musik mereka sebagai 'rudies' yaitu kelompok The Wailers ( Bob Marley, Peter Tosh, Bunny Wailer). Prince Buster menemukan seseorang yang memiliki mitos karakter sebagai Rude Boy yaitu Judge Dread. Lagu "007 Shanty Town" yang dinyanyikan oleh Desmond Dekker adalah sebuah karya cemerlang dalam mendokumentasikan perilaku Rude Boy kedalam sebuah lagu (berhasil memasuki urutan tangga lagu ke 14 di UK Charts)
Tema rude boy masih mendominasi sepanjang periode ska, dan popularitasnya memuncak sepanjang musim panas tahun 1964. Beat ska menjadi lebih lambat & Rocksteady pun lahir. Gelombang ska pertama berakhir pada tahun 1968 (Rocksteady adalah bagian cerita lain: Rocksteady kemudian melahirkan musik Reggae. Popularitas musik Reggae di Inggris di sebarkan oleh Skinhead; kelompok Rastafarian mengadopsi musik Reggae & lirik-lirik lagunya cenderung bertemakan ajaran Rastafari & pandangan Relijiusnya, Reggae pun berkembang menjadi 'Dub', 'Dancehall', & seterusnya ...& seterusnya ...)
Franz Ferdinand
Franz Ferdinand are an indie rock band that formed in Glasgow, Scotland in 2001. Named after Archduke Franz Ferdinand of Austria, the band comprises Alex Kapranos (lead vocals and guitar), Bob Hardy (bass guitar), Nick McCarthy (rhythm guitar, keyboards and backing vocals), and Paul Thomson (drums, percussion and backing vocals).
The band first experienced chart success when their second single "Take Me Out" reached #3 in the UK Charts, followed by their debut album Franz Ferdinand which debuted on the UK album chart at #3. The band went on to win the 2004 Mercury Music Prize and two BRIT Awards in 2005 for Best British Group and Best British Rock Act. NME named Franz Ferdinand as their Album of the Year. From the album, three top-ten singles were released, "Take Me Out", "The Dark of the Matinée", "This Fire". Also, "Michael" peaked at #17.
The band's second album, You Could Have It So Much Better, charted at #1 in the UK, selling 101,884 copies in its first week, yielding the top ten hit "Do You Want To" and other hits such as "Walk Away" and "The Fallen".
Alex Kapranos
Nick McCarthy
Bob Hardy
Paul Thomson
source : http://en.wikipedia.org/wiki/Franz_Ferdinand_(band)
5/10/2008
Radiohead
Radiohead are an English alternative rock band from Oxfordshire. The band is composed of Thom Yorke (lead vocals, rhythm guitar, piano, electronics), Jonny Greenwood (lead guitar, other instruments), Ed O'Brien (guitar, backing vocals), Colin Greenwood (bass guitar, synthesisers) and Phil Selway (drums, percussion). Radiohead have released seven albums and have sold over 23 million records over their career.[1]
Radiohead released their first single, "Creep", in 1992, and their debut album, Pablo Honey, in 1993. Though initially unsuccessful, "Creep" was a worldwide hit when reissued a year later. Radiohead's popularity in the United Kingdom increased with the release of their second album, The Bends (1995). The band's textured guitar atmospheres and Yorke's falsetto singing were warmly received by critics and fans. With the release of OK Computer (1997), Radiohead were propelled to greater fame worldwide. Featuring an expansive sound and themes of alienation from the modern world, OK Computer has often been acclaimed as a landmark record of the 1990s.
The release of Kid A (2000) and Amnesiac (2001) saw Radiohead reach their peak popularity, although the albums divided critical opinion. This period marked a change in Radiohead's musical style, with their incorporation of avant-garde electronic music, Krautrock and jazz influences. Hail to the Thief (2003), Radiohead's sixth album, blended styles from throughout the band's career, mixing guitar-driven rock, electronic influences and contemporary lyrics. Radiohead subsequently left their record label, EMI, and released their seventh album, In Rainbows (2007), through their own website as a digital download for which customers selected their own price.
Simple Plan
Simple Plan began in 1995 with the formation of a band named Reset by friends Pierre Bouvier, Charles-André "Chuck" Comeau, Philippe Jolicoeur, and Adrian White.[1] Reset toured around Canada with bands such as MxPx, Ten Foot Pole, and Face to Face, but only managed to gain modest popularity.[1] The debut album, No Worries, was released in 1998, and Comeau left soon after to go to college.[1] Two years later he met with high school friends Jean-François "Jeff" Stinco and Sébastien Lefebvre who were in separate bands of their own, and combined to create the band.[1] Meanwhile, Reset released a second CD, No Limits (the two CDs would be re-released as a single CD in 2006, with liner note comments from Bouvier and Comeau). In late 1999, Comeau and Bouvier reacquainted at a Sugar Ray concert[1] and Bouvier left Reset soon after to join Comeau. David Desrosiers replaced Bouvier in Reset, but when asked to join the foursome, he too left the band six months later.[1] This allowed Bouvier, who had doubled as the band's front man and bassist, to concentrate on the singing.[1]
The origin of the band's name is obscure. Band members have given various responses on this point, including a liking for the movie A Simple Plan;[2] that the band was their simple plan to avoid getting a "real" job; and that the name was only intended to be temporary, but they never thought of anything better, and with shows coming up for the new band, they needed a name.
The Cure
The Cure are an English rock band that formed in Crawley, Sussex in 1976. The band has experienced several lineup changes, with frontman, guitarist and main songwriter Robert Smith—known for his iconic wild hair, pale complexion, smudged lipstick and frequently gloomy and introspective lyrics—being the only constant member.
The members of The Cure first started releasing music in the late 1970s. Their first album, Three Imaginary Boys (1979), and early singles placed them as part of the post-punk and New Wave movements that had sprung up in the wake of the punk rock revolution in the United Kingdom. During the early 1980s the band's increasingly dark and tormented music helped form the gothic rock genre. After the release of 1982's Pornography, the band's future was uncertain and frontman Robert Smith was keen to move past the gloomy reputation his band had cultivated. With the 1982 single "Let's Go to Bed" Smith began to inject more of a pop sensibility into the band's music. The Cure's popularity increased as the decade wore on, especially in the United States, where the songs "Just Like Heaven", "Lovesong" and "Friday I'm in Love" entered the Billboard Top 40 charts. By the start of the 1990s, The Cure were one of the most popular alternative rock bands in the world and have sold an estimated 27 million albums as of 2004.[1] As of 2007, The Cure have released twelve studio albums and over thirty singles, with a thirteenth album in the works.
Linkin Park
Originally consisting of three high school friends, Linkin Park’s foundation was anchored by Mike Shinoda and Brad Delson along with Rob Bourdon. After graduating from high school, the California natives began to take their musical interests more seriously, recruiting Joe Hahn, Dave "Phoenix" Farrell, and Mark Wakefield to perform in their band then titled Xero. Though limited in resources, the band began recording and producing songs within Shinoda’s make-shift bedroom studio in 1996. Tensions and frustration within the band grew after they failed to land a record deal. The lack of success and stalemate in progress prompted Wakefield, at that time the band's vocalist, to leave the band in search for other projects. Farrell would also leave the band to tour with Tasty Snax and other bands.
After spending a considerable time searching for Wakefield's replacement, Xero recruited Arizona vocalist Chester Bennington. Jeff Blue, the vice president of Zomba Music, had referred him to the band in March 1999. Bennington, formerly of Grey Daze, became a standout among applicants on account of his unique singing style. The band changed their name from Xero to Hybrid Theory. The newborn vocal chemistry between Shinoda and Bennington helped revive the band, inciting them to work on new material.
The band’s renaissance culminated with a change in name; from Hybrid Theory, the band changed their name to Linkin Park, a play on and homage to Santa Monica’s Lincoln Park. However, despite these changes, the band still struggled to sign a record deal. After facing numerous rejections from several major record labels, Linkin Park turned to Jeff Blue for additional help. After failing to catch Warner Bros. Records on three previous reviews, Jeff Blue, now the vice president of Warner Bros. Records, helped the band sign a deal with the company in 1999. Now aside with Warner Bros. Records, the band released their breakthrough album, Hybrid Theory, the following year.
