Custom Search

6/02/2008

Hak cipta photo digital dan Buat apa belajar photograhpy??


Perkembangan teknologi sesunguhnya adalah untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi kita semua. Inovasi dan pengembangan terhadap penemuan terdahulu memang diupayakan untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih murah lagi. Tapi, di Balik semua kemudahan dan manfaat yang kita dapatkan dari kecanggihan teknologi itu tersimpan celah-celah yang jika tidak mendapat perhatian serius, beberapa kasus mengenai perselisihan kepemilikan hak cipta foto digital sudah terjadi baik di luar maupun dalam negeri. Karakter foto digital yang tidak memiliki film negative yang merupakan cetakannya dan juga sangat mudah diduplikasi menyisakan celah bagi orang-orang iseng untuk mengcopy foto milik orang dan mengkalim atau menggunakannya untuk keperluan pribadi maupun komersil. Perkembangan peminat fotografi di Indonesia berkembang cepat sejak masuknya digital. Di beberapa mal mal di Indonesia juga sudah mulai bisa ditemui toko-toko kamera. Sekolah fotografi pun bermunculan satu per satu. Hal ini tentu saja akibat teknologi yang memudahkan segalanya. Teknologi membuat fotografi bukan sebagai suatu hal yang sulit. Anda bisa memotret dengan mudahnya dan menghapusnya pula dengan mudah jika hasil yang diinginkan tidak sesuai harapan yang kita inginkan.

Perkembangan teknologi sejatinya adalah untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia. Inovasi dan pengembangan terhadap penemuan terdahulu memang diupayakan untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih murah lagi. Begitu juga dengan penemuan kamera digital. Bertahun-tahun yang lalu ketika kamera digital diciptakan, tujuannya jelas untuk kemudahan penggunanya. Pehobi fotografi tidak perlu lagi membeli film negative, memprosesnya hingga mencetaknya. Proses memotret pun menjadi lebih mudah karena semuanya lebih terkontrol. Lihat saja setiap orang yang memotret dengan kamera digital, setiap baru saja memencet shutter pastilah mereka tergoda untuk segera melihatnya di layer LCD yang ada di bagian belakang kamera. Tujuannya untuk memastikan bahwa foto yang diambil sudah bagus dan benar. Dan akhirnya memotret jadi hal yang mudah dan menyenangkan.

Tapi, di Balik semua kemudahan dan manfaat yang kita dapatkan dari kecanggihan teknologi itu tersimpan celah-celah yang jika tidak mendapat perhatian serius bisa membawa petaka di kemudian hari. Mungkin hukum alam juga terjadi pada kecanggihan teknologi sama seperti perkembangan obat dan penyakit yang selalu menjadi rival abadi. Setiap perkembangan juga diikuti kemunduran di sisi lain. Setiap ditemukan obat baru, ditemukan pula penyakit baru. Bagaimana dengan kamera digital?

Satu celah yang tercipta sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi pada kamera digital adalah tidak adanya film negative yang bisa menjadi bukti otentik kepemilikan foto. Memang benar film negative pun bisa diduplikasi sehingga masih ada celah bagi orang-orang iseng. Namun setidaknya kamera digital meninggalkan celah permasalahan mengenai pembuktian siapa yang berhak mengklaim sebagai pemilik foto.

Beberapa kasus mengenai perselisihan kepemilikan hak cipta foto digital sudah terjadi baik di luar maupun dalam negeri. Karakter foto digital yang tidak memiliki film negative yang merupakan cetakannya dan juga sangat mudah diduplikasi menyisakan celah bagi orang-orang iseng untuk mengcopy foto milik orang dan mengkalim atau menggunakannya untuk keperluan pribadi maupun komersil. Jika anda pernah mengunjungi toko-toko yang menjual software bajakan anda akan menemui tumpukan CD yang berisi stock foto baik dalam resolusi tinggi untuk keperluan cetak maupun resolusi rendah untuk keperluan online publishing. Sementara di sebuah toko buku grafis di kawasan Jakarta selatan anda bisa menemui CD yang sama dengan kemasan yang lebih rapih lengkap dengan segelnya dengan harga lebih dari 10 kali lipatnya. Jelas yang mahal adalah yang asli atau legal, sementar yang murah adalah bajakan. Pembajakan hak cipta foto juga terjadi di internet di mana anda bisa menemui website stock image maupun web gallery komunitas fotografi online. Foto-foto yang terpampang di website semacam ini sangat rentan terhadap pencurian. Namun lebih mudah dibuktikan keasliannya karena besaran resolusi foto yang dipublish di internet relative kecil.

Kasus lain yang juga sering terjadi adalah ketika sebuah foto dibuat oleh team yang terdiri dari beberapa orang dengan porsi kompetensinya masing-masing. Ada yang bertugas sebagai fotografer, ada model, ada make up artis, fashion stylist, dll. Dalam kasus ini kepemilikan dan hak penggunaan foto tersebut harus disepakati secara bersama-sama di antara team yang terlibat.

Yang menarik bagi kami adalah apa yang terjadi ketika dua orang memiliki foto dalam bentuk file digital yang sama dan sama-sama mengklaim sebagai pemilik foto. Pakar telematika dan multimedia KRMT Roy Suryo membagikan pengetahuannya kepada kami. Menurut Roy sebuah file foto digital bisa dengan mudah dicopy 100% sama tanpa bisa diketahui mana yang asli mana duplikatnya. Maka dari itu sebuah forum di tingkat internasional yang bernama joint photography expert group (jpeg) yang juga mengeluarkan format jpg. Mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan sebuah script yang diberi nama metadata/EXIF. Bertahun-tahun yang lalu forum ini merekomendasikan para produsen kamera untuk menyertakan metadata pada setiap kameranya. Walaupun panjang string yang tersimpan pada metadata tiap kamera bisa berbeda-beda. Ada yang panjang dan lengkap sampai lensa yang digunakan, speed dan bukaan lensa yang digunakan ada juga yang sederhana sebatas tanggal pembuatan dan jenis kamera yang dipakai. Roy Suryo berpendapat bahwa metadata ini bisa digunakan sebagai salah satu cara pembuktian yang bisa ditempuh. Selanjutnya untuk melakukan pembuktian adalah dengan melakukan cross check dengan menanyakan kepada kedua belah pihak mengenai kamera yang dipakai untuk membuat foto tersebut dan tanggal pembuatan. Semua data mengenai tanggal pembuatan dan jenis kamera yang dipakai tersimpan di metadata yang terbawa bersama file digital foto tersebut. Dengan catatan: yang pertama metadatanya belum ditabrak (diganti – red.), yang kedua tanggal di kamera di set setiap habis dilepas baterynya. Karena ketika kita melepas battery, tanggal akan kembali ke tanggal awal berdasarkan programnya. Ungkap Roy Suryo.

Sementara Maria Y.P. Ardianingtyas, seorang pehobi fotografi yang juga berprofesi sebagai pekerja di bidang hukum berpendapat bahwa dari segi hukum pembuktian kepemilikan sebuah foto yang tidak memiliki dokumen pendukung apapun bisa dilakukan dengan kesaksian beberapa orang saksi yang kebetulan melihat proses pembuatan foto tersebut. Dan jika dipandang perlu bisa dilakukan pembuktian kemampuan fotografi pihak-pihak yang berselisih. Kalau yang satunya jago motret, yang satunya biasa-biasa aja, padahal foto yang dipermasalahkan jelas susah secara teknis, seharusnya secara tidak langsung bisa menunjukkan siapa yang membuat foto tersebut. Ungkap Maria Y.P. Ardianingtyas.

Bagaimana duduk persoalannya pada foto jurnalistik di mana fotografer yang membuat mewakili sebuah instansi media tertentu. Pertama-tama harus dimengerti dulu ada yang namanya pencipta, ada yang namanya hak cipta ada yang namanya pemegang hak cipta. Semuanya dilindungi undang-undang. Jelas Maria Y.P. Ardianingtyas. Menurut undang-undang nomer 19 tahun 2002 mengenai hak cipta, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Artinya title pencipta tidak bisa dipindahtangankan karena memuat fakta mengenai siapa yang membuat sebuah karya foto. Selanjutnya Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Artinya hak cipta bisa dipindahtangankan sesuai kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Artinya dalam kasus foto jurnalistik, bisa disimpulkan bahwa fotografer yang bertugas untuk sebuah instansi media adalah pencipta, namun pemegang hak ciptanya bisa instansi tempat dimana fotografer tersebut bekerja bisa kedua belah pihak, semuanya tergantung kesepakatan kedua belah pihak.

Fotografer jurnalistik senior, Arbain Rambey berpendapat, kalau saya ditugasi meliput sebuah peristiwa oleh kantor saya, maka hak ciptanya milik berdua. Ketika salah satu pihak menjualnya ke pihak lain, maka pihak yang satu lagi juga harus mendapat bagian. Namun kebanyakan dalam kasus ini fotografer tidak boleh menjual foto yang dibuat atas biaya dinas kepada pihak selain kantor tempat dimana ia bekerja. Maka dari itu ketika sebuah foto ditayangkan di suratkabar, pasti ada nama instansi yang memegang hak cipta dan nama fotografer yang membuatnya di bagian bawahnya. Maria Y.P. Ardianingtyas pun berpendapat senada, menurut UU no.19 tahun 2002: Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. Artinya pihak yang menugaskan juga ikut memgang hak cipta. Kecuali ada kesepakatan lain. Hal ini juga berlaku pada fotografi fashion, komersil, wedding dan fotografi lain dimana melibatkan pihak kedua yang menugaskan atau mempekerjakan fotografer untuk membuat foto untuknya.

Kasus lain yang juga sering terjadi pada fotografi fashion dan komersil. Ketika sebuah foto fashion dan komersil dibuat kecenderungannya adalah akan melibatkan banyak pihak (tidak hanya fotografer saja). Untuk itu perlu dibuat kesepakatan mengenai batasan-batasan penggunaan foto tersebut. Maria Y.P. Ardianingtyas menyarankan bahwa dalam kasus pembuatan foto dengan team yang beranggotakan lebih dari 1 orang, sebaiknya disepakati saat itu juga mengenai batasan-batasan itu. Jika melibatkan model maka sebaiknya ada model release yang merupakan surat perjanjian mengenai batasan penggunaan foto tersebut. Jika melibatkan bangunan swasta sebaiknya juga dibuat property release. Model release dan surat kesepakatan semacam ini secara garis besarnya berisi: kedudukan pihak-pihak yang terlibat dalam kesepakatan, hak dan kewajiban, tujuan penggunaan materi foto, lama penggunaan materi foto, ijin reproduksi dan juga pilihan penyelesaian sengketa.

Upaya-upaya pencegahan semacam ini bisa menghindarkan anda dari tuntutan hukum. Berdasarkan UU no.19 tahun 2002 pelanggaran hak cipta bisa menyeret tertuduh tidak hanya pada tingkat perdata namun juga pidana dengan hukuman kurungan maksimal 7 tahun disamping denda maksimal 5 miliar rupiah.

Beberapa upaya yang bisa ditempuh untuk melindungi hak cipta foto kita adalah dengan mendaftarkannya di dijern HAKI (Hak kekayaan intelektual). Prosesnya memang cukup memakan waktu tapi jelas aman. Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana jika yang mendaftarkan HAKI adalah malingnya? Maria Y.P. Ardianingtyas menjawab HAKI bisa dibatalkan walaupun harus melalui pengadilan niaga. Tapi jika bisa dibuktikan bahwa yang mendaftarkan HAKI bukan pihak yang berhak maka HAKI bisa dibatalkan dan setelah itu malah malingnya bisa dituntut Balik.

Cara paling sederhana untuk menghindari pencurian Maria Y.P. Ardianingtyas menyarankan pencipta sebuah foto untuk mempublish fotonya tersebut di ruang umum baik di internet ataupun media massa. Jika dalam kurun waktu tertentu tidak ada tuntutan atau klaim dari pihak lain mengenai foto tersebut secara otomatis muncul semacam legitimasi social terhadap hak cipta foto tersebut atas nama anda. Cara lain adalah dengan memanfaatkan teknologi yang ada seperti diungkapkan Roy Suryo kepada kami berikut ini, yang pertama, di beberapa camera terdapat fungsi untuk menambahkan comment pada setiap foto yang dibuat. Manfaatkanlah itu untuk memberi nama anda pada foto-foto tersebut. Fungsi ini juga bisa ditemui pada beberapa software pengolah grafis. Jangan lupa juga untuk selalu melakukan setting tanggal terutama ketika anda telah mengganti battery atau mencabut battery. Agar tanggal yang tersimpan pada metadata bisa digunakan sebagai bukti tanggal pembuatan.. Untuk kamera-kamera canggih yang memiliki fitur GPS Roy juga menyarankan pemiliknya untuk mengaktifkannya ketika memotret. Hal ini untuk membuktikan posisi pemotretan sesuai dengan klaim pencipta jika perlu pembuktian dikemudian hari. Walaupun masih meninggalkan banyak celah, Roy optimis bahwa dukungan teknologi yang ada saat ini jika dikelola dengan benar bisa dijadikan bukti hukum dengan dukungan saksi ahli jika dikemudian hari terjadi perselisihan. Roy yakin bahwa secanggih-canggihnya teknologi pasti masih meninggalkan celah. Termasuk rencana beberapa manufaktur kamera yang berencana melengkapi kamera dengan scanner fingerprint dan retina. Makanya pinter-pinteran saja. Jangan sampai kita kalah pinter dari maling. Tutupnya.

Belajar Memotret Buat apa????
Perkembangan peminat fotografi di Indonesia berkembang cepat sejak masuknya digital. Beberapa waktu yang lalu ketika tim kami berjalan-jalan di sebuah pusat pertokoan yang biasa menjual computer kami mendapati banyak toko baru. Hanya saja mereka tidak menjual computer, tapi menjual kamera. Di beberapa mal besar di Jakarta juga sudah mulai bisa ditemui toko-toko kamera. Sekolah fotografi pun bermunculan satu per satu. Hal ini tentu saja akibat teknologi yang memudahkan segalanya. Teknologi membuat fotografi bukan sebagai suatu hal yang sulit. Anda bisa memotret dengan mudahnya dan menghapusnya pula dengan mudah jika hasil yang diinginkan tidak sesuai harapan.

Seorang sahabat yang juga pengamat fotografi mengatakan “sekarang jamannya instant. Motret langsung jadi, lebih instant dari Polaroid jaman dulu yang harus dikipas-kipas terlebih dahulu.”
Tidak heran jika terjadi pergeseran di kalangan pengguna fotografi. Jika dulu kaum awam yang mempergunakan kamera hanya untuk keperluan dokumentasi pribadi kini beralih dari kamera poket menjadi kamera prosumer atau bahkan SLR. Jika dulu pehobi memotret melakukan pemotretan hanya dengan kamera dan flash internal, kini tidak jarang yang berani berinvestasi untuk memberi peralatan lighting yang memenuhi standar studio foto yang lebih serius. Semuanya berubah dan berkembang. Investasi pehobi fotografi makin berani, keseriusan dalam menekuninya pun menyusul. Apakah ini pertanda yang bagus untuk perkembangan fotografi Indonesia? Kami tidak mau terlanjur gede rasa (GR) dengan kondisi ini. Kami mencoba meneliti
lebih dalam lagi mengenai hal ini. Untuk itu kami melakukan penelitian kualitatif mengenai alasan orang untuk lebih serius di fotografi. Responden yang kami wawancarai memang tidak mencapai angka ratusan namun sebagai survey kualitatif data ini bisa memberikan gambaran singkat mengenai hal ini.

Berikut hasil survey kami. Kami mewawancarai
secara mendalam mengenai motivasi orang untuk tertarik lebih dalam lagi di dunia fotografi. Ada 4 jawaban yang sangat sering terlontar dari mulut responden kami. Dua jawaban cukup menggembirakan, sementara 2 yang lainnya memprihatinkan. Sayangnya justru 2 jawaban memprihatinkan yang mendapat suara lebih besar.

Baiklah, kami akan memulianya dari jawaban yang menyenangkan terlebih dahulu. 2 Jawaban
yang menggembirakan yang cukup sering terlontar namun masih kalah banyak jika dibandingkan dengan jawaban memprihatinkan

adalah mereka tertarik untuk lebih serius memotret dengan alasan kepuasan pribadi dank arena menghasilkan uang. Mereka yang mengharapkan kepuasan pribadi biasanya memotret dengan menuruti tuntutan selera pribadi. Agak egois memang, tapi bisa sangat baik jika yang berkepentingan rajin memperkaya diri dengan referensi-referensi dari foto-foto berkualitas. Dengan memiliki referensi foto yang berkualitas, kelompok ini akan memiliki dorongan yang kuat untuk membuat foto yang lebih baik lagi. Karena kepuasan pribadi yang ada berasal dari referensi yang kita lihat. Semakin baik foto yang kita lihat kecenderungan untuk menghasilkan foto yang lebih baik akan semakin baik pula. Sebaliknya jika pehobi foto kelompok ini menutupdiri dari referensi-referensi menarik, maka kecenderungan untuk menghasilkan foto yang lebih baik lagi akan semakin kecil. “Sebenarnya fotografer hobi murni seperti ini sangat kuat motivasinya. Mereka tidak akan meninggalkan fotografi. Namun untuk bisa memiliki dorongan untuk memotret bagus, mereka harus punya banyak referensi foto bagus. Jika yang dilihat foto jelek, maka ketika foto mereka sudah dalam tingkat sedang-sedang saja sudah dianggap bagus. Untuk itulah carilah foto yang lebih bagus dari foto anda. Supaya anda punya motivasi untuk melewatinya.” Ungkap salah seorang pengamat foto.

Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang memotret karena tergiur uang. Fotografi memang bukan profesi yang menghasilkan uang recehan. Fotografi bisa menghasilkan uang yang besar dan menggiurkan. Namun jika anda hanya berhenti pada besaran rupiah yang ada tanpa memikirkan tanggung jawab untuk menghasilkan foto yang baik dan reputasi untuk tetap exist maka anda akan berhenti pada tahap”menggampangkan. Banyak yang jadi fotografer karena gampang menghasilkan uang, terutama setelah bisnis foto prewedding berkembang pesat. Market yang ada cukup besar dan tuntutan kualitas tidak terlalu tinggi mengingat kliennya bukan seorang professional yang mengerti betul tentang foto yang baik. “Ah foto saya yang kayak gini aja udah bisa menghasilkan uang banyak, ngapain lagi saya merepotkan diri dengan belajar ini itu. Yang penting orang lain suka, saya dapat duit.” Ungkap seorang responden dari kelompok ini. “Fotografer yang hanya mengincar uang tanpa memikirkan kualitas tidak usah dipusingkan. Mereka akan teriliminasi secara otomatis ketika masyarakat mulai sadar kualitas foto yang baik.” Ungkap seorang pengamat fotografi. “Tapi jika orang tertarik uang di bisnis fotografi dan memutuskan untuk menggantungkan diri dari fotografi, fotonya pasti akan bagus. Karena ia akan melakukan apa saja untuk membuat foto menjadi bagus. Maksuda saya benar-benar bagus, bukan bagus karena photoshop atau bagus karena lightingnya di set orang lain. Kalau harus belajar lagi mereka akan belajar. Kalau harus bikin style baru mereka akan bikin. Karena tujuannya adalah bagaimana caranya menghasilkan uang dari memotret dan bagaimana caranya untuk bisa terus menghasilkan uang dari memotret.” Tambahnya.

Kamipun mengamini pernyataan sahabat kami tersebut setelah mengingat beberapa fotografer komersil yang memang tertarik menekuni profesi itu karena alasan uang.
Kesimpulannya bagi anda yang sudah memiliki modal motivasi yang cukup baik, yaitu mereka yang memotret untuk kepuasan pribadi dan untuk uang, Anda hanya tinggal
menjaga agar anda selalu terpacu untuk selalu mengupgrade kemampuan fotografi anda. Selalu menantang diri untuk melebihi dari anda saat ini. Agar modal motivasi yang sudah baik itu bisa benar-benar berujung di tempat yang benar.

Selanjutnya, 2 alasan yang memprihatinkan yang kami dapat adalah sebagai berikut. Alasan pertama yang paling sering disebutkan oleh responden kami adalah mereka mendalami
fotografi karena senang bisa bertemu dan memotret wanita cantik dan sexy (model).
Kelompok ini rajin mengikuti sesi hunting dengan model cantik. Bahkan tidak jarang mereka membuat sesi hunting ini sendiri. Pengalaman dari seorang teman yang pernah mengadakan acara hunting bersama adalah “yang paling penting adalah modelnya cantik dan sexy. Karena itu pertanyaan yang paling sering dilontarkan oleh calon peserta.”. Mengenai tema yang ditetapkan kadang hanya menjadi pemanis saja. “Lebih parah lagi kadang model yang nggak cantik pun bisa jadi laku jika modelnya berani berpose sexy.” Tambahnya.


Selain untuk kepuasan pribadi semata, kelompok ini merasa senang jika memiliki relasi yang baik dengan banyak model yang cantik dan sexy. “Keren aja kalau bisa kenal dengan banyak model yang cantik dan sexy.” Ungkap salah seorang responden kami.

Amat disayangkan motivasi seperti ini bisa berakhir dengan hasil foto yang cenderung lebih mengeksploitasi model bukan mengeksplorasi aura dan karakter si model. Hasilnya foto cenderung lebih vulgar. Teori ini diperkuat oleh pengamatan kami di beberapa situs komunitas fotografi online dimana para membernya bisa bertukar foto dan komentar. Foto-foto yang menggunakan model wanita cantik dan sexy cenderung lebih banyak dilihat dan dikomentari. Sayangnya jika kita telaah lebih dalam lagi, tidak sedikit komentar yang justru mengarah kepada pose yang terkesan vulgar semata, bukan kepada teknis dan konsep foto tersebut. “Yah memang masih di situ level apresiasi pehobi foto kita. Jadi jangan heran kalau masih banyak pertentangan tentang batasan pornografi. Jangankan orang awam, pehobi foto saja juga “senang” melihat ke arah situ.” Ungkap seorang pengamat foto yang tidak mau disebut namanya.
Jawaban kedua yang berbeda tipis perolehan suaranya yang juga memprihatinkan adalah “Saya mau jadi fotografer karena gengsi.” Ya fotografer memang sudah menjadi pekerjaan bergengsi di Indonesia. Mungkin karena fotografer adalah profesi yang cukup disegani bahkan oleh kaum selebriti yang sudah disegani masyarakat. Kesan status selevel atau setingkat lebih tinggi dari selebriti rupanya menjadi alasan yang menarik bagi orang untuk menjadi fotografer. Upaya ini didukung oleh teknologi yang semakin memudahkan orang untuk memotret seperti sudah diungkapkan tadi. “Sekarang generasi fotografer instant. Kemarin belum pernah pegang kamera, hari ini sudah memakai baju bertuliskan saya seorang fotografer. Dan sudah menenteng kamera SLR bernilai puluhan juta rupiah.” Ungkap salah seorang pengamat fotografi. Pernyataan ini secara tidak diengaja dan tidak direncanakan sesuai dengan data yang kami dapat. Yaitu bahwa banyak pehobi fotografi yang sudah berani mengproklamirkan diri sebagai fotografer ketika baru lebih serius mempelajari fotografi selama kurang dari 1 tahun. Memang waktu bukan ukuran yang tepat untuk menggambarkan kemampuan seseorang tapi setidaknya terlihat bagaimana menjadi fotografer sangat mudah.

Kami pun tidak serta merta berburuk sangka terhadap kelompok ini. Kami menyempatkan untuk melihat satu per satu hasil foto mereka untuk melihat kemampuan fotografi mereka. Dan benar saja, foto yang mereka hasilkan bagus-bagus seperti orang yang sudah lebih dari 3 tahun menekuni fotografi. Namun ketika kami telusuri lebih dalam lagi, tidak sedikit dari mereka yang memiliki foto bagus yang ternyata tidak memiliki kemampuan fotografi yang baik. Lalu dari mana mereka mendapatkan foto yang bagus itu? Mencuri?

Sebagian dari mereka mendapatkan hasil foto yang bagus karena memiliki kemampuan editing foto yang mumpuni. Bahkan hasil foto yang sangat tidak menarik pun bisa menjadi menarik dengan sentuhan software editing foto. Satu per satu mereka menekuni proses editing foto tersebut hingga hasilnya jauh dari kenyataan. Ada sebagian lain yang mendapatkan hasil foto yang bagus dengan bekerjasama dengan orang lain. “Ini foto saya, motretnya di studio teman. Yang motret sih saya. Tapi yang set lighting teman saya. Jadi saya memang sudah berkomitmen dengannya untuk berpartner. Setiap saya ada pekerjaan memotret saya akan sewa studio dia dan dia akan kasih bonus jasa set lighting. Itu kan yang namanya teamwork seperti kata banyak fotografer prefesional. Yang penting kan yang ngatur komposisi dan yang jepret kan saya.” Ungkap salah seorang nara sumber kami yang lain.

Memang fotografi menjadi lebih menarik ketika dilakukan secara teamwork. Namun apakah ini dinamakan teamwork yang baik atau tidak silakan anda sendiri yang menilai. Tidak ada aturan tertulis mengenai definisi fotografi modern. Mengenai siapa yang berhak mengklaim diri sebagai fotografer, yang menjepret kah? Atau yang mengatur pencahayaan kah? Tapi kami berpendapat bahwa seorang fotografer seharusnya mengerti segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut termasuk lighting.

sumber : The Light photography free electronic magazine

Tidak ada komentar: